Ini Tiga Rekomendasi LIPI untuk Pulau Sumba
By Admin
nusakini.com - Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur menjadi tujuan Ekspedisi Widya Nusantara (E-WIN) 2016 yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada April dan Agustus 2016 lalu. Pasca ekspedisi ini, LIPI memberikan setidaknya tiga rekomendasi untuk pemerintah daerah setempat agar melakukan pengelolaan wilayah Sumba dengan baik berdasarkan hasil temuan dan riset E-WIN.
Untuk diketahui, E-WIN merupakan ekspedisi riset hasil kolaborasi tiga kedeputian di LIPI, yakni Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH), Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian (IPK), dan Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK). Lebih dari 50 peneliti LIPI dari beragam lintas disiplin ilmu terlibat dalam E-WIN itu.
“Ekspedisi E-WIN dilakukan lintas keilmuan dengan harapan dapat maksimal mengeksplorasi potensi dan identifikasi kerentanan di Pulau Sumba,” ujar Bambang Subiyanto, Deputi Bidang Jasa Ilmiah (Jasil) LIPI yang mewakili Kepala LIPI pada Senin (19/12) saat membuka Ekspose dan Talkshow E-WIN 2016: Menggali Potensi Bioresources untuk Mengurangi Kerentanan Masyarakat Perdesaan Sumba di Auditorium LIPI Pusat Jakarta.
Bambang mengatakan, Pulau Sumba dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki ekosistem yang unik, namun belum banyak penelitian yang dilakukan di pulau tersebut. Pulau ini memiliki flora dan fauna yang merupakan campuran Asia dan Australia. “Penelitian Pulau Sumba ikut menyertakan potensi kearifan lokal sehingga diharapkan terjalin benang merah lintas keilmuan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ungkap Bambang.
Sebagai pertimbangan ilmiah, LIPI pun memberikan rekomendasi berdasarkan hasil ekspedisi untuk pengelolaan bioresources yang ada di Sumba dengan membagi Sumba Timur dan Sumba Barat sesuai dengan karakteristik ekosistemnya. Setidaknya, lembaga penelitian ini memberikan tiga rekomendasi.
Pertama, penguatan masyarakat dan lingkungan Sumba Timur meliputi pengembangan intensifikasi ternak dengan sistem Sentra Peternakan Sapi (SPS) di tingkat kecamatan, yang sekaligus memanfaatkan kekayaan alam untuk eco-wisata, pengembangan lahan pertanian sekaligus tambak ikan air tawar, serta penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat melalui koperasi. Ketahanan pangan perlu dikembangkan dengan menaikan status tanaman pangan lokal sebagai bahan pangan pokok.
Kedua, untuk Sumba Barat Daya difokuskan penguatan pakan ternak lokal dan produktivitas ternak lokal, dan membangun masyarakat tani polibian di pesisir, serta memperkenalkan teknologi pembuatan gula kelapa kristal.
Dan ketiga, rekomendasi secara umum bagi pengelolaan perairan dan laut Sumba yang meliputi penegakan hukum untuk pengamanan dari bom ikan, upaya pelestarian dan transplantasi terumbu karang, serta pelestarian padang lamun dan budidaya rumput laut. Hal ini agar dapat memberikan manfaat jasa layanan ekosistemya secara maksimal.
Kaya Flora dan Fauna
Sementara itu Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang IPH LIPI menyebutkan, hasil E-WIN telah membuka tabir kekayaan flora dan fauna di pulau tersebut. Ternyata, pulau ini menyimpan kekayaan yang luar biasa, ungkapnya.
Lihat saja, Pulau Sumba tercatat memiliki 18 jenis mamalia, 75 jenis burung, 56 jenis ikan, 12 jenis reptile, lima jenis amfibi, 139 jenis serangga, 44 jenis keong, 25 jenis kepiting, 37 jenis udang dan dua jenis kelomang. “Ada temuan jenis baru pula di Pulau Sumba, yakni satu jenis tikus Rattus sp dan dua jenis lalat buah Drosphila sp,” ujarnya.
Enny melanjutkan, telah ditemukan pula satu jenis baru Bambu Schizostachyum sp. Selain itu, Sumba juga memiliki Bambu yang merambat Dinochloa Kostermansiana yang merupakan tanaman unik di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. “Masyarakat setempat menyebut tanaman bamboo merambat dengan Lulu ura,” imbuhnya.
Di sisi lain, Enny menjelaskan dari penelitian potensi pangan lokal, pihaknya mengindentifikasi potensi tanaman pangan, di antaranya tiga jenis umbi-umbian, sembilan jenis kacang-kacangan, tujuh jenis buah dan 10 jenis sayur. “Setelah ditemukan sejumlah potensi, maka tantangannya adalah bagaimana membuat masyarakat lokal menyukai pangan lokal ini,” tuturnya.
Kerentanan
Dilain hal Deputi Bidang IPK LIPI, Zainal Arifin menyoroti hasil EWIN kali ini dari sisi permasalahan penangkapan ikan secara illegal yang kerap terjadi di Pulau Sumba. Hal tersebut karena banyak nelayan yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. “Penggunaan bom tentunya merusak ekosistem ikan dan terumbu karang,” sesalnya.
Menurutnya, inilah sisi kerentanan yang perlu diselesaikan dengan penegakan hukum. Sedangkan faktor kerentanan lain yang ditemukan adalah kekhawatiran masyarakat lokal memperdagangkan dan tidak mengetahui jenis flora dan fauna endemik langka dan unik dari Sumba. “Keragaman genetik harus diamankan karena ekspor hayati cukup tinggi di Pulau Sumba. Selain itu, rencananya di Sumba Timur akan dilakukan konservasi padang lamun yang salah satu tujuannya bisa meningkatkan potensi pariwisata pulau tersebut,” katanya.
Anas Saidi, Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI mengimbuhkan, Pulau Sumba memiliki potensi besar pada tanaman rumput laut dengan persebaran wilayah budidaya yang luas. “Sayangnya, masyarakat lokal baru memanfaatkan potensi pertanian rumput laut hanya sekitar 10 persen saja. Padahal potensi budidaya rumput laut sangat besar sekali,” ungkapnya.
Dikatakannya, permasalahan lain yang ada di Pulau Sumba ialah hanya memiliki satu koperasi dan corak pasar yang cenderung monopoli. “Lemahnya kelembagaan berbasis masyarakat menjadi penyebab minimnya potensi budidaya tanaman rumput laut di Sumba. Sangat diperlukan perhatian dan dorongan dari pemerintah daerah untuk menggerakan usaha kecil dan menengah masyarakat yang berbasis potensi lokal,” pungkasnya. (p/mk)